Kamis, 14 April 2016

Karan, Metropolis Tempo Dulu

Karan merupakan nama sebuah dusun yang terletak di tepi jalan raya provinsi. Tepatnya di Desa Gunungsari Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Karena letaknya yang strategis, dusun ini memiliki kisah peradaban tersendiri yang berbeda dengan dusun lainnya. Puncak kejayaan dusun ini terjadi pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang.
Penelusuran sejarah ini bermula saat banyak warga dari dusun lain yang menjuluki masyarakat Karan dengan sebutan cah kutho. Tentu saja julukan ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Karan pada saat itu dan hingga saat ini. Sebagian orang menganggap julukan tersebut karena Karan yang letaknya di tepi jalan raya sangat mudah untuk menuju ke pusat kecamatan. Namun bukan itu yang menyebabkan masyarakat Karan mendapat sebutan cah kutho.
Gambar 1 : Gua yang saat itu digunakan sebagai pabrik pengolahan
Pada zaman penjajahan Belanda, Karan merupakan kawasan industri pengolahan tepung dan gula yang terletak di bawah bukit dekat Sendang Gong. Adapun pemilik tempat pengolahan tersebut adalah Pemerintah Hindia Belanda, Eropa, dan Etnis China. Hingga saat ini, masih ada sisa-sisa bangunan berupa beberapa ruangan di bawa bukit yang menyerupai gua yang memiliki cerobong asap. Setelah dilakukan penelusuran ruangan tersebut sangat luas dan lapang. Selain pengolahan tepung dan gula, juga ada gudang pengolahan rosela serta gulungan-gulungan tali ijuk. Pada tahun 2005, gudang rosela dibongkar. Sehngga kini yang tersisa hanyalah sebidang tanah yang luas dan ditumbuhi oleh tanaman liar.
Gambar 2 : Gua yang digunakan sebagai pabrik pengolahan
Gambar 3 : Kondisi cublik'an Sendang Lirang
Mulai dari Karan yang paling Timur hingga Sendang Gong telah dibangun pemukiman dan berbagai pabrik pengolahan pada saat itu. Tak heran jika hanya Karan lah yang sudah teraliri oleh listrik dan memiliki fasilitas umum seperti SPBU, stasiun, pengairan, dan pemandian umum. Tanda-tanda adanya stasiun terlihat dari ditemukannya sejumlah rel kereta api yang terdapat di atas bukit dan lapangan PLN. Diperkirakan rel tersebut terhubung dengan rel yang ditemukan juga di Desa Gajah. Sendang Gong dulunya adalah tempat pemandian bagi pegawai Hindia Belanda, orang Eropa, dan Etnis China. Di sendang itu terdapat cublik'an (sekat) dengan nama-nama Sendang Singkek, Sendang Lirang, Sendang Lanang, Sendang Wedok, dan lainnya. Tahun 1971-1972, Sendang Gong dipugar oleh pemerintah. Cublik'an yang sering diceritakan oleh sesepuh desa kini hanya tersisa satu, yakni Sendang Lirang.
Dari beberapa sumber dan saksi hidup yakni Mbah Hasyim (95) dan Mbah Nardi (95), dapat disimpulkan bahwa dusun Karan merupakan Kota Metropolitan pada zaman penjajahan Belanda hingga penjajahan Jepang. Karan telah memiliki infrastruktur dan tata kota sedemikian rupa seperti listrik, drainase, sarana transportasi, dan kompleks industri lengkap dengan perumahan pegawai Pemerintah Hindia Belanda dan Etnis China. Ketika Kota Babat dan Baureno masih gelap gulita di malam hari, Karan sudah terang benderang dengan lampu-lampu listriknya dan berjibaku dengan segala hiruk pikuk industrinya. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat Karan mendapat julukan cah kutho
https://goo.gl/maps/gdhoiztXTbz

Gambar 4 dan 5 (atas-bawah) : Kondisi Sendang Gong saat ini akibat musim kemarau


Gambar 6 : Gua yang saat ini dijadikan sebagai studio alam beberapa komunitas teater

Tidak ada komentar:

Posting Komentar