Rabu, 01 Maret 2017

Lesehan Kampung Nonong, Nikmatnya Makan Siang di Tepi Sawah

Anda pecinta aneka masakan serba ikan ? Mungkin anda harus singgah ke Lesehan Kampung Nonong. Rumah makan yang berkonsep lesehan ini berbeda dengan rumah makan lainnya. Karena lokasinya yang berada di tepi sawah. Sehingga semilir angin segar persawahan akan membuat rileks pengunjung yang datang.
 









Tampak Depan Lesehan Kampoeng Nonong
Untuk menuju ke lesehan yang legendaris ini anda harus sedikit berjuang, karena letaknya yang sangat pelosok di Desa Ngruken Kecamatan Padangan Kabupaten Bojonegoro. Dari arah Ngawi lurus  saja ke arah timur hingga sampai di pertigaan SMA PGRI Padangan. Nantinya anda harus masuk ke arah utara sejauh 1500 meter. Jangan khawatir tersesat, karena di setiap jalan terdapat petunjuk arah ke lesehan tersebut.
            Lesehan Kampung Nonong menyajikan berbagai olahan masakan ikan gurameh dan ikan air tawar lainnya. Tentunya gurameh di sini menjadi menu spesial dan paling banyak dicari oleh pengunjung.
            Bima Anggara salah satu pengunjung Lesehan Kampung Nonong mengaku sering menghabiskan waktu makan siangnya bersama keluarga di lesehan ini.
            “Karena rasanya yang enak, daging ikannya lebih tebal dan tidak amis, juga harganya tidak terlalu mahal. Apalagi ditambah suasana khas pedesaan yang membuat berbeda,” ujarnya.
           







Gurameh Goreng Kremes dan Gurameh Bakar yang Menggugah Selera
Satu porsi ikan gurameh seberat 300 gram dibanderol seharga Rp 28.000. Lesehan Kampung Nonong mampu mengolah gurameh menjadi berbagai macam masakan. Seperti gurameh goreng kremes, gurameh bakar, gurameh garang asem, dan lainnya.
           







Suasana Saung Lesehan di Tepi Sawah
Lesehan Kampung Nonong setiap hari mendapatkan suplai ikan gurameh segar dari Blitar.

            “Karena gurameh dari Blitar memang kualitasnya paling bagus dan harganya stabil”, kata Bambang Sutrisno selaku pemilik lesehan.

Rabu, 20 April 2016

Semarak Perayaan Ulang Tahun Dewa di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban

Altar Klenteng Kwan Sing Bio Tuban
Salah satu tempat ibadah agama tri dharma di Indonesia yang sangat berpengaruh adalah Klenteng Kwan Sing Bio. Klenteng ini merupakan klenteng terbesar se Asia Tenggara. Letaknya yang strategis di tepi pantai utara https://goo.gl/maps/QTWbDX7tZEF2 Kabupaten Tuban menjadikan tempat ini salah satu pusat aktivitas keagamaan. Salah satu yang menjadikan Klenteng Kwan Sing Bio berbeda dengan lainnya adalah simbol kepiting raksasa yang berada di pintu masuk.
Kepiting Raksasa di PintuMasuk yang Siap Menyambut Pengunjung
Pada 8 Agustus 2015, penulis berkesempatan mengunjungi klenteng tersebut untuk menyaksikan perayaan Ulang Tahun Kongco Yang Mulia Dewa Kwan Sing Tee Koean ke 1853. Agenda hari Sabtu itu adalah sembahyang bersama yang diikuti oleh ribuan umat Tri Dharma. Banyak pengunjung dari dalam negeri maupun luar negeri secara khusus datang ke Tuban untuk ikut serta dalam perayaan yang digelar selama 3 hari berturut-turut. Akibatnya tingkat hunian hotel di Tuban mengalami peningkatan. Selain itu para pedagang makanan maupun oleh-oleh juga mengalami peningkatan penjualan. Tempat parkir yang disediakan oleh klenteng tidak cukup menampung kendaraan pengunjung yang sangat membludak. Sehingga beberapa pengunjung memilih berjalan kaki dari hotel maupun parkir di tempat yang lumayan jauh dari klenteng.
Panggung Pementasan yang telah Dibongkar
Sebelum menyaksikan atau mengikuti prosesi sembahyang, pengunjung bisa berkeliling klenteng menyaksikan kemegahan gedung yang dibangun 200 tahun yang lalu. Di sepanjang lorong gedung juga terdapat bazaar aneka makanan dan souvenir khas tionghoa.
Jika pada hari-hari biasa pengunjung yang tidak memiliki kepentingan sembahyang dilarang untuk memasuki altar. Namun hari itu penulis serta pengunjung lainnya bisa dengan leluasa memasuki altar dan melihat prosesi sembahyang dengan jelas.
Dimulainya sembahyang ditandai dengan dibunyikannya perkusi atau genderang untuk memanggil para jemaat berkumpul di altar utama. Beberapa wartawan media lokal maupun nasional berebut untuk mendapatkan lokasi strategis untuk meliput. Beruntung penulis mendapatkan tempat di depan altar tepat.
Didukung oleh cuaca yang cerah, prosesi sembahyang yang menghadap ke pantai utara berlangsung dengan khidmat. Para pengunjung yang tidak bersembahyang pun tertib menyaksikan. 
Para Pengunjung yang Sudah Memadati Altar Utama

Penabuhan Genderang dan Perkusi untuk Memanggil Jemaat

Prosesi Sembahyang, Masing-Masing Jemaat Membawa Dupa

Sesaji di Altar

Persiapan Sembahyang

Prosesi Sembahyang di Altar Utama

Prosesi Sembahyang

Sembahyang yang Menghadap ke Pantai Utara



Penulis sekaligus Fotografer di Depan Panggung Pementasan

Penulis di Depan Altar Utama



Senin, 18 April 2016

Branding Agrowisata Belimbing Ngringinrejo Bojonegoro

Dua tahun belakangan ini sejak munculnya berbagai program acara televisi yang bertema wisata, masyarakat mulai suka dengan hal-hal yang berbau dengan travelling. Sejumlah tempat indah di daerah yang sebelumnya belum terjamah kini menjadi terkenal. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur baru-baru ini. Lihat https://goo.gl/maps/hy6h177wYb42
Gambar 1 : Alun-alun Bojonegoro
Bojonegoro selama ini terkenal sebagai kota penghasil minyak bumi terbesar se-Asia Tenggara. Layaknya kota-kota lain, Bojonegoro juga memiliki berbagai destinasi wisata yang menarik. Khayangan Api, Waduk Pacal, dan Agrowisata Belimbing Ngringinrejo adalah beberapa nama tempat wisata yang sudah dikenal. Namun sayang sekali, ketiga wisata tersebut masih terasa asing bagi masyarakat luar kota Bojonegoro. Dibandingkan wisata-wisata di kota tetangga seperti Lamongan yang terkenal dengan theme park WBL (Wisata Bahari Lamongan) atau Tuban dengan wisata religi Makam Sunan Bonang dan Klenteng Kwan Sing Bio, wisata di Bojonegoro masih kurang dalam hal branding serta pengelolaan.
Gambar 2 : Gapura Agrowisata Belimbing Ngringinrejo

Agrowisata Belimbing Ngringinrejo adalah salah satu objek wisata perkebunan buah belimbing seluas 19,3 hektar. Terletak di Desa Ngringinrejo Kecamatan Kalitidu https://goo.gl/maps/E5A8AP8mq5J2  pengunjung bisa berjalan menyusuri rimbunan pohon belimbing yang teduh serta memetik buah belimbing segar. Selain buah belimbing segar, ada pula beberapa olahan belimbing seperti sirup, kerupuk, dodol, dan lainnya.
Gambar 3 : Aneka produk olahan belimbing
Menyebut kata agrowisata, seketika saya juga teringat dengan agrowisata apel malang yang begitu terkenal. Setiap orang yang berwisata ke kota Malang maupun Batu pasti tak lupa membawa oleh-oleh berupa apel malang, keripik apel, dodol apel, maupun produk olahan apel lainnya. Apel seakan-akan menjadi buah yang ikonik bagi kota tersebut. Mengapa apel menjadi sepopuler itu ? Yang pertama adalah branding. Malang telah mem-branding daerahnya sendiri dengan Malang Kota Apel. Branding tersebut juga telah dibuktikan dengan banyaknya perkebunan apel serta pabrik pengolahan produk apel. Wisatawan juga sepakat jika oleh-oleh khas Malang adalah apel. Bandingkan dengan branding kota Bojonegoro. Sepanjang pengetahuan saya, branding di kota ini masih terlalu umum dan luas seperti Bojonegoro Kota Lumbung Pangan dan Energi; Bojonegoro Matoh; serta Bojonegoro Sehat, Produktif, dan Bahagia. Masyrakat luar kota masih terlalu mengambang untuk mendeskripsikan apa panganan andalan Bojonegoro dan apa energi andalan Bojonegoro. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah serta masyarakat perlu memikirkan satu objek tertentu untuk menjadi branding kota. Contohnya, Bojonegoro Kota Belimbing. Saya membayangkan seluruh penjuru Bojonegoro minimal memiliki satu kebun belimbing serta pabrik pengolahan. Masyarakat luar kota yang kebetulan sedang lewat bisa mendapatkan belimbing di mana saja tanpa harus ke Kalitidu. Selain itu, produk olahan belimbing juga dibuat semakin beragam.
Yang kedua adalah pengelolaan. Membandingkan antara agrowisata apel di Malang dengan agrowisata belimbing di Bojonegoro masih sangat jauh berbeda. Pengunjung di agrowisata apel tidak hanya disuguhi pemandangan kebun apel saja, di dalamnya juga terdapat arena bermain serta outbond serta fasilitas lain. Selain itu, lokasi kebun apel yang dekat dengan pabrik pengolahan sering menjadi jujukan bagi siswa untuk field study. Tak heran, setelah berkunjung ke kebun apel selalu mempunyai kesan tersendiri. Berbeda halnya dengan agrowisata belimbing di Bojonegoro yang terasa monoton dan butuh konsep-konsep baru supaya berkesan bagi pengunjung. Kebun belimbing di Bojonegoro harus senantiasa belajar pengelolaan ke agrowisata yang telah lebih dulu eksis. Karena bukan tidak mungkin jika dikelola secara lebih baik dan profesional kebun belimbing akan menjadi branding serta identitas kota Bojonegoro.

Kamis, 14 April 2016

Karan, Metropolis Tempo Dulu

Karan merupakan nama sebuah dusun yang terletak di tepi jalan raya provinsi. Tepatnya di Desa Gunungsari Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Karena letaknya yang strategis, dusun ini memiliki kisah peradaban tersendiri yang berbeda dengan dusun lainnya. Puncak kejayaan dusun ini terjadi pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang.
Penelusuran sejarah ini bermula saat banyak warga dari dusun lain yang menjuluki masyarakat Karan dengan sebutan cah kutho. Tentu saja julukan ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Karan pada saat itu dan hingga saat ini. Sebagian orang menganggap julukan tersebut karena Karan yang letaknya di tepi jalan raya sangat mudah untuk menuju ke pusat kecamatan. Namun bukan itu yang menyebabkan masyarakat Karan mendapat sebutan cah kutho.
Gambar 1 : Gua yang saat itu digunakan sebagai pabrik pengolahan
Pada zaman penjajahan Belanda, Karan merupakan kawasan industri pengolahan tepung dan gula yang terletak di bawah bukit dekat Sendang Gong. Adapun pemilik tempat pengolahan tersebut adalah Pemerintah Hindia Belanda, Eropa, dan Etnis China. Hingga saat ini, masih ada sisa-sisa bangunan berupa beberapa ruangan di bawa bukit yang menyerupai gua yang memiliki cerobong asap. Setelah dilakukan penelusuran ruangan tersebut sangat luas dan lapang. Selain pengolahan tepung dan gula, juga ada gudang pengolahan rosela serta gulungan-gulungan tali ijuk. Pada tahun 2005, gudang rosela dibongkar. Sehngga kini yang tersisa hanyalah sebidang tanah yang luas dan ditumbuhi oleh tanaman liar.
Gambar 2 : Gua yang digunakan sebagai pabrik pengolahan
Gambar 3 : Kondisi cublik'an Sendang Lirang
Mulai dari Karan yang paling Timur hingga Sendang Gong telah dibangun pemukiman dan berbagai pabrik pengolahan pada saat itu. Tak heran jika hanya Karan lah yang sudah teraliri oleh listrik dan memiliki fasilitas umum seperti SPBU, stasiun, pengairan, dan pemandian umum. Tanda-tanda adanya stasiun terlihat dari ditemukannya sejumlah rel kereta api yang terdapat di atas bukit dan lapangan PLN. Diperkirakan rel tersebut terhubung dengan rel yang ditemukan juga di Desa Gajah. Sendang Gong dulunya adalah tempat pemandian bagi pegawai Hindia Belanda, orang Eropa, dan Etnis China. Di sendang itu terdapat cublik'an (sekat) dengan nama-nama Sendang Singkek, Sendang Lirang, Sendang Lanang, Sendang Wedok, dan lainnya. Tahun 1971-1972, Sendang Gong dipugar oleh pemerintah. Cublik'an yang sering diceritakan oleh sesepuh desa kini hanya tersisa satu, yakni Sendang Lirang.
Dari beberapa sumber dan saksi hidup yakni Mbah Hasyim (95) dan Mbah Nardi (95), dapat disimpulkan bahwa dusun Karan merupakan Kota Metropolitan pada zaman penjajahan Belanda hingga penjajahan Jepang. Karan telah memiliki infrastruktur dan tata kota sedemikian rupa seperti listrik, drainase, sarana transportasi, dan kompleks industri lengkap dengan perumahan pegawai Pemerintah Hindia Belanda dan Etnis China. Ketika Kota Babat dan Baureno masih gelap gulita di malam hari, Karan sudah terang benderang dengan lampu-lampu listriknya dan berjibaku dengan segala hiruk pikuk industrinya. Oleh karena itu, wajar jika masyarakat Karan mendapat julukan cah kutho
https://goo.gl/maps/gdhoiztXTbz

Gambar 4 dan 5 (atas-bawah) : Kondisi Sendang Gong saat ini akibat musim kemarau


Gambar 6 : Gua yang saat ini dijadikan sebagai studio alam beberapa komunitas teater

Jumat, 04 Desember 2015

Purnama di Bumi Intan Pari

Seminggu yang lalu (28/11/2015), musisi legendaris Iwan Fals menyapa penggemarnya di Karangnyar. Kota yang memiliki julukan Bumi Intan Pari ini memberikan sambutan hangat bagi Oi, FAMA, maupun siapa saja yang hendak menyaksikan. Pengamanan yang ketat dari berbagai pihak menjamin konser yang berlangsung selama 2 jam akan kondusif.
Walaupun diguyur hujan sejak siang hari, tidak menyurutkan niat para Oi yang datang dari berbagai kota untuk bernyanyi bersama sang legenda. Konser yang digelar di Alun-Alun Karanganyar ini awalnya membuat pesimis para penggemarnya. Lokasi yang tidak terlalu luas dikhawatirkan tidak mampu menampung para penonton yang jumlahnya diperkirakan mencapai ribuan. Namun, pihak penyelenggara dapat mengatasinya. Sejumlah jalan protokol di sekitar alun-alun mulai ditutup sejak pukul 16.00 WIB.
Sebelum sang legenda tampil, beberapa musisi lokal turut meramaikan. Puncaknya pukul 21.00 Iwan Fals mulai muncul dari balik panggung. Dengan mengenakan kaos polo yang dipadu dengan jaket dan topi, beliau terlihat karismatik. Menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza menjadi pemantik semangat bagi para penontonnya. Malam itu, Iwan Fals lebih banyak menyanyikan lagu yang bertema lingkungan seperti Tanam Siram, Pohon untuk Kehidupan, Sampah, dan lainnya. Lagu yang menarik minat saya adalah Langgam Lawu.
"Di Karanganyar ada gunung Lawu. Gak pas rasanya kalo gak mainin lagu itu," begitu ucap Iwan Fals.
Bulan yang pada malam itu terlihat terang benderang purnama seakan menambah keasyikan berbendang bersama sang idola.
Di akhir penampilan, Iwan Fals membawakan 2 lagu baru yang diciptakan oleh Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Mereka adalah pejuang anti korupsi yang sedang merasakan kegelisahan atas kasus korupsi di Indonesia.
"Mereka yang bikin liriknya, lalu saya yang bikin lagunya," kata Iwan Fals.
Penoton hanyut dalam lagu yang berjudul Kalau Takut Jangan dan Lawan Korupsi. Sebagai penutup Iwan Fals membawakan lagu Untukmu Indonesia.
Usai konser, Iwan Fals mengungkapkan kekagumannya terhadap para penonton dan penyelenggara.

"Alhamdulillah, konser berjalan aman dan lancar. Tapi jangan lupa sampahnya ya, berangkat bersih pulang juga harus bersih".




Salam, Teropong Negeri !

Berawal dari perkenalan di media sosial, mereka berdua kini mencoba merangkai cerita bersama. Memiliki ketertarikan yang sama di dunia petualangan, Bima dan Dina tak menyangka akan mengunjungi tempat-tempat yang memiliki segunung cerita.
Blog ini adalah kumpulan-kumpulan cerita seru perjalanan mereka.